Ayahku sakit. kini ia terlentang di rumah sakit bina sehat. badannya kurus
.kulitnya keriput.matanya menguning.entah ia sakit apa ? aku sedih
seketika.mataku memerah ketika melihatnya terbaring di atas kasur dengan
jarum infus tertusuk di tanganya dan beberapa alat pengobatan di atas
hidungnya ia tak kuasa membuka matanya tak berdaya bagai orang bersalah
dibelenggu
Aku
mencoba mendekatinya seraya ingin memeluknya,tangannya bergerak
seketika aku menyentuhnya. Aku pegang tanganya erat-erat bagaikan burung
tergenggam oleh tanganku mataku mengeluarkan air mata tak kuasa
memandangnya yang terus menderita .
Beberapa
menit telah berlalu aku keluar meninggalkannya.aku duduk bersimpuh di
atas kursi ruang tunggu bersama ibuku.kami saling pandang,mengeluarkan
air mata tak tahan membendung penderitaannya.ibuku mendekatkan tubuhnya
padaku seraya berkata”nak ibu mendapat kabar dari dokter, ayahmu harus
di operasi ,kalau endak….” Ia menghentikan pembicaraannya dan memelkku
erat-erat bagaikan orangtua lama tak bertemu anaknya. Kemudian ia
berucap kembali “ayahmu akan kehilangan nyawanya.”serunya yang berbisik
sambil menangis didekat daun telingaku.
Aku
kaget mendengarnya. Jantungku berdetak kencang. Pikiranku tertuju pada
kematian seseorang akibat operasi. Aku takut kehilangannya. Ia
satu-satunya kepala keluargaku. Hatiku berdoa pada tuhan yang maha esa,
menginginkan keselamatan dan kesembuhannya. Aku bermalam di dekatnya,
seraya menjaga keselamatannya.
# # #
Pagi, aku
dan ibu berunding di dalam ruang rawat inap ayahku atas oprasinya.
Kamipun sepakat memutuskan oprasinya dipagi hari ini juga, seperti yang
dikatakan dokter pada ibuku, bahwa dipagi hari ini juga, oprasi ayahku
harus dilaksanakan.
Diterbitnya
matahari, ayahku dipindah ke ruangan khusus oprasi. Lima menit berlalu,
oprasi ayahku dimulai. Pikiranku tak tenang. Aku berjalan memutari
sudut-sudut ruang tunggu oprasi ayahku. Kulihat jarum jam terus berputar
mengelilingi angka petunjuk waktu. Aku terdiam tak kuasa dan tak
kusadari diriku telah duduk di atas kursi, menunggu usainya oprasi
ayahku.
Beberapa
jam kemudian oprasi selesai, hatiku sangat gembira ria di hadapan
pintu, menunggu dokter keluar dari ruang oprasi. Aku tak boleh
menyelinap masuk begitu saja tanpa pemberitahuan dokter. Aku berdiri
tegap di depan pintu, mematung, menunggu dokter keluar dari ruangan
oprasi.
“Krek…krek…,”
suara pintu yang dibuka. Langkahku tertuju pada pintu yang terbuka. Aku
membelakangi pintu hingga terpergok oleh dokter. Akupun bertatap muka.
“Dok,
gimana keadaan ayahku?” tanyaku sambil menatap muka sang dokter yang
berseri-seri kelelahan. Dokter itu lama tak menjawab pertanyaanku. Ia
terus menundukkan kepalanya. Kulihat ibu berada di belakangku. Ia tak
tahan menunggu kabar suaminya. Ia pun menyeletuk.”dok, gimana keadaan
suami saya?” ia bertanya dengan mengangkat suara dan menangis sebab
ketaksabarannya.
“Maafkan
saya bu! Allah tak mengizinkan suami ibu hidup!” seru dokter yang
langsung melangkahkan kakinya dari hadapan kami. Aku sedih, menangis
duduk di atas kursi menundukkan kepala, begitu pula dengan ibuku.
Keesokan harinya, ayahku dibawa pulang. Sesampainya di rumah, ayahku di perlakukan sebagaimana orang islam meninggal.
Komentar
Posting Komentar